Author: indomiliter

Menyibak Misteri “Lock” Sukhoi TNI-AU

Su-30 Skadron 11 TNI-AU
Su-30 Skadron 11 TNI-AU

Hari jumat tanggal 20 Februari 2009 boleh jadi adalah momen berharga bagi Angkatan Udara Indonesia. Pasalnya, ini kali pertama jet tempur termodern TNI-AU, Su-30 Sukhoi dikabarkan di lock (dikunci) oleh sensor rudal pesawat tak dikenal.

Sontak berita ini jadi headline di berbagai pemberitaan nasional. Ada yang menyebut dua Sukhoi TNI-AU di lock oleh pesawat tempur berkualifikasi stealth, ada lagi yang bilang Sukhoi di lock oleh kapal selam asing, lalu satelit, bahkan ada pendapat yang cukup aneh, Sukhoi telah di lock oleh UFO.

Opini di masyarakat pun berkembang luas. Mengatasi berita yang sumir, pihak Puspen TNI akhirnya memberi pernyataan bahwa dua Sukhoi mengalami kerusakan elektronik. Sejak saat itu berita Sukhoi di lock mulai sepi dari ulasan di berbagai media.

Tapi peristiwa 20 Februari itu terus mengundang tanya, apakah mungkin dua jet tempur super canggih berharga ratusan juta US dollar itu mengalami kerusakan elektronik secara bersamaan? Terlebih lagi pesawat saat kejadian diawaki oleh instruktur pilot berpengalaman dari Rusia. Nah, ketimbang dibuat bingung, ada baiknya kita analisa mengenai beberapa kemungkinan yang terjadi pada hari jumat pagi itu.

Sukhoi di “lock” pesawat tempur
Kalaupun Sukhoi di lock rudal pesawat tempur, tentu tak sulit menemukan tersangkanya. Secara kemampuan militer, hanya Amerika Serikat dan Australia yang bisa “berani” untuk melakukan hal ini.

Seandainya di lock oleh sosok pesawat stealth, AS lah yang mungkin terlibat. Tapi untuk misi ini membutuhkan pangkalan aju, semisal di Guam atau di Darwin (Australia Utara). bahkan boleh jadi perlu dukungan air refeuling untuk misi jarak jauh. Pesawat AS yang punya kemampuan stealth saat ini diantaranya F-22 Raptor, F-117 Night Hawk dan B-2 Spirit.

F-22 Raptor US Air Force. Pesawat ini rencananya akan ditawarkan ke beberapa negara sekutu AS
F-22 Raptor US Air Force. Pesawat ini rencananya akan ditawarkan ke beberapa negara sekutu AS

Tapi analisa diatas rasanya agak berlebih, mengingat untuk operasi macam ini butuh biaya besar dan beresiko tinggi. Risiko tinggi tentu bukan dari hadangan pesawat tempur TNI-AU, tapi lebih mungkin karena faktor alam. Maklum operasi digelar di lautan lepas yang faktor cuacanya sulit diduga. Kecuali AS punya niat untuk misi dagang, semisal membuktikan kecanggihan stealth F-22 Raptor kepada calon pembelinya.

Ada lagi misteri di soal jarak kunci rudal, dikabarkan di media massa Sukhoi di lock dari jarak ratusan kilometer. Pertanyaanya, jenis rudal apakah yang bisa me lock dalam radius demikian jauh? Stoknya tak terlalu banyak dipasar, rudal udara ke udara yang punya jangkauan ini kandidatnya adalah AIM-7 Sparrow dan Phoenix.

Tapi berdasar analisa lebih jauh, Phoenix lah yang paling mungkin dari segi teknis dengan jangkauan operasi sampai 200 Kilometer. Phoenix dahulu pernah dipakai F-14 Tomcat US Navy untuk menjatuhkan MIG-23 Flogger milik Libia. Tapi rudal era tahun 80-an ini sudah tergolong tua.

Seandainya memang benar Sukhoi TNI-AU di lock oleh pesawat stealth, saya yakin niatnya bukan untuk benar-benar menghancurkan, mungkin lebih tepat untuk trial response. Toh walau Sukhoi TNI AU canggih, belum dibekali paket senjata yang mematikan, seperti rudal udara ke udara. Senjata Sukhoi TNI AU baru sebatas kanon internal 30 mm. Moga-moga dengan adanya insiden ini membuat  pemerintah terketuk untuk melengkapi sang Sukhoi dengan senjata yang bisa menggetarkan lawan.

Apalah artinya pesawat tempur canggih tanpa bekal senjata yang mumpuni. Seyogyanya TNI AU harus belajar dari kasus F-16 yang cuma dibekali paket rudal AIM-P4 Sidewinder dan rudal udara ke darat AGM-65 Maverick.

Kembali ke hari dimana Sukhoi di lock, begitu ada kabar Sukhoi di kunci rudal sontak berita diteruskan ke pangkalan di Makassar dan pejabat Kohanudnas (Komando Pertahanan Udara Nasional). Maka diputuskanlah untuk menerbangkan Boeing 737-200 Surveillance Skadron 5 yang juga ber-home base di lanud Hassanudin Makassar, Sulawesi Selatan.

Boeing 737 Surveillance Skadron 5 TNI-AU
Boeing 737 Surveillance Skadron 5 TNI-AU

Dikabarkan Boeing 737 langsung melakukan pencarian obyek pesawat tak dikenal dalam jangkaun 370 Km, kemudian diteruskan ke arah selatan menuju Bali. Skadron 5 sendiri hanya punya 3 unit Boeing 737 Surveillance, dan diterbangkan secara bergantian. Pertanyaanya, apakah efektif pencarian pesawat penyusup dengan Boeing 737 tersebut?

Boeing 737 Surveillance terbilang pesawat pengintai canggih di era tahun 80-an. Salah satu andalannya adalah radar pengintai laut SLAMMER (Side Looking Airborne Multimission Radar) yang bisa memantau aktivitas di lautan sepanjang area 85 ribu mil per jam (lihat artikel Boeing 737 Surveillance – Jet Pengintai TNI-AU). Tapi Boeing 737 surveillance TNI AU tak bisa disamakan dengan pesawat intai E-3A AWACS ataupun E-2C Hawkeye. Kemampuan penjejakan Boeing 737 surveillance bukan untuk keunggulan intai aktivitas di udara, melainkan untuk intai laut.

E-3A AWACS US Air Force
E-3A AWACS US Air Force

Seandainya Boeing 737 surveillance TNI AU diberi tugas intai mendadak pada pagi itu, apakah pesawat tersebut bisa diterbangkan dengan cepat? Apakah Boeing 737 bisa scramble secepat pesawat tempur? Meski menyandang status pesawat militer, Boeing 737 surveillance TNI AU tak beda jauh dengan performa mesin Boeing 737 milik penerbangan komersial. Tentu dibutuhkan waktu dan persiapan untuk mengudara. Belum lagi Lanud (pangkalan udara) menyatu dengan bandara Hassanudin, tentu diperlukan koordinasi bila butuh terbang mendadak dengan pihak ototitas penerbangan sipil di bandara, dalam hal ini PT Angkasa Pura.

Dengan skenario ini, terlihat tidak efektif bila Boeing 737 surveillance diberi tugas intai pengejaran. Tentu ada banyak jeda waktu yang terbuang sampai Boeing 737 surveillance hadir di TKP (tempat kejadian perkara). Belum lagi bila yang dihadapi pesawat jet tempur, tentu kecepatan escape nya luar biasa cepat, secepat-cepatnya Boeing 737 mengejar tentu tak akan ada hasilnya. Obyek pesawat juga tak akan bisa terlihat lagi dari layar radar.

Menurut pemberitaan, seluruh satuan radar baik sipil dan militer di darat tak ada yang melihat aktivitas black flight. Seandainya benar yang menyusup pesawat stealth, harus diacungi jempol kemampuan pesawat tersebut.

Apakah Ulah Australia?
Australia punya reputasi tinggi pada soal susup menyusup ke wilayah Indonesia. Pasca jejak pendapat di Timor Timur, beberapa kali F-18 Hornet AU Australia kerap masuk jauh ke wilayah udara Indonesia. Salah satu peristiwa yang membuat heboh saat Hawk 200 TNI AU mampu menyergap black flight F-18 Hornet Australia. Hornet dan F-111 Raven Australia diduga juga pernah terbang tinggi diatas lanud Kupang. Sayang Arhanud Indonesia tak memliki rudal anti pesawat jarak jauh seperti SA-2 di era tahun 60-an.

Hanya sekedar analisa, insiden Sukhoi di lock bukan tak mungkin melibatkan Australia. Secara geografis hal ini dimungkinkan mengingat wilayah laut Sulawesi Selatan masih dalam jangkauan pesawat tempur Australia yang bermarkas di lanud Tindal, Darwin, Australia Utara. Apalagi dengan konsep isi bahan bakar di udara segalanya menjadi mungkin.

Walau F-111 Raven dan F-18 Hornet tak memiliki kemampuan steatlh, bukan tak mungkin ada peningkatan kemampuan radar dan persenjataan dengan restu AS. Kabar terbaru AU Australia segera akan diperkuat oleh 24 armada F-18 Super Hornet. Ataukah sebuah penerbangan gelap F-22 Raptor take off dari Darwin? Walahualam..

Sukhoi di Lock Kapal Selam?
Kemampuan perang ekektronik memungkinkan segalanya bisa dilakukan, sebuah kapal selam dapat melepasan rudal dari bawah permukaan laut ke target berupa pesawat, tentu didahului dengan lock missile. Salah satu rudal dengan kemampuan ini adalah sea sparrow. Jenis kapal selam yang bisa melakukan hal ini rasanya hanya milik US Navy, seperti kelas Los Angeles .

USS Los Angeles - kapal selam serang US Navy dengan tenaga nulkir
USS Los Angeles - kapal selam serang US Navy dengan tenaga nulkir

Skenario lock dari kapal selam mencuat karena kebuntuan hasil pencarian dari pesawat intai. Banyaknya celah laut  Indonesia, memungkinkan kapal selam asing menyusup jauh ke wilayah perairan kita tanpa terditeksi. Ditambah masalah jumlah kapal perang TNI AL yang punya kemampuan anti kapal selam masih sangat terbatas.

Gara-Gara Rombongan Hilary?
Skenario ini paling kecil kemungkinannya, tapi insiden Sukhoi di Lock tak jauh dari waktu kedatangan menlu AS, Hilary Clinton di Indonesia. Bisa saja saat kedatangan ataupun kepergian Hilary dari wilayah Indonesia, pihak rombongan kurang “nyaman” dengan manuver latihan Sukhoi, lantas di lock jamming lah kedua pesawat TNI AU itu.

Berpulang kepada hal diatas, semua yang saya ungkapkan hanyalah opini pribadi.  Tetap terbuka kemungkinan bahwa semua ini adalah karena problem kerusakan elektronik semata. Mohon maaf sekiranya bila ada detail info yang kurang akurat dan benar. Yang jelas dalam dunia teknologi militer impossible is nothing. (Haryo Adjie Nogo Seno)

Su-27 Flanker : Jagoan Dogfight dari Makassar

Su-27 dan Su-30 Flanker
Su-27 dan Su-30 Flanker

Sekitar sepuluh tahun silam, satu delegasi Indonesia yang dipimpin Menko Ekuin Ginanjar Kartasasmita mendarat di Moscow, ibukota Rusia. Tujuan mereka cuma satu, menyambangi pusat produksi jet tempur milik Rusia, khususnya pabrik Mikoyan-Gurevich yang memproduksi jet-jet tempur MiG dan Sukhoi OKB, yang melahirkan pesawat-pesawat perang berinisial Su.

Ginanjar yang pensiunan jenderal bintang tiga (Marsekal Madya) TNI-AU, mengemban tugas dari Presiden Soeharto, memilih jet tempur terbaik untuk memperkuat jajaran angkatan udara Indonesia. Maklum, pesawat tempur TNI-AU yang ada sudah banyak yang usang, seperti A4-SkyHawk, OV-10 Bronco. Sementara pesawat yang relatif modern semacam F-16 Fighting Falcon dan F-5E Tiger sebagian besar harus ngendon di darat gara-gara embargo senjata yang diberlakukan Amerika.

Ketika itu pemerintah AS memang memberlakukan embargo senjata kepada Indonesia, yang dianggap kurang memperhatikan HAM dan proses demokrasi. Makanya, rencana awal membeli sejumlah F-16 terpaksa batal, karena senat AS tak memberi ijin. Jangankan membeli pesawat baru, pasokan suku cadang pun dihentikan. Itu yang membuat jet-jet buatan Amerika itu tak bisa terbang.

Kokpit Flanker
Kokpit Flanker

Karena desakan kebutuhan, maka Indonesia mencari alternatif lain. Salah satunya adalah Rusia. Negeri yang dahulu bernama Uni Soviet ini juga punya banyak stok pesawat tempur mutakhir, tak kalah dengan produk blok barat. Karena memang diciptakan untuk menandingi peralatan perang NATO, dalam konteks lomba senjata di era perang dingin.

Setelah timbang sana timbang sini, pilihan dijatuhkan pada Su-27, pesawat tempur multi guna mutakhir yang menjadi andalan angkatan udara Rusia. Sebenarnya ada alternatif lain, seperti Mirage 2000 buatan Perancis, atau JAS Grippen buatan Swedia. Tapi pesawat buatan Eropa ini harganya mahal, lagipula agak sulit membelinya di tengah tekanan AS, yang merupakan sekutu Perancis dan Swedia ini. Sementara Sukhoi lebih murah. Bahkan setelah nego, pesawat-pesawat canggih itu bisa dibayar sebagian besar dengan sembako (barter).

Dari Rusia sendiri pilihan sebenarnya ada dua, MiG-29 Fulcrum dan Su-27 Sukhoi. Dua pabrikan itulah yang dikunjungi Ginanjar dan tim. Seorang rekan wartawan yang menyertai rombongan Ginanjar menggambarkan, pusat produksi MiG sepintas lalu tak beda dengan bengkel mobil. Sulit membayangkan bahwa di sanalah jet-jet tempur mutakhir dilahirkan. Sementara pabrik Sukhoi, kata dia, mendinganlah.

Su-30 Flanker skadron udara 11
Su-30 Flanker skadron udara 11

Tapi jelas bukan soal kondisi pabrik yang jadi pertimbangan, kenapa akhirnya Indonesia memilih Sukhoi. Yang jelas pula, pesanan pertama sebanyak 12 unit Su-27SK dan Su-27MK lengkap dengan persenjataannya itu, tak terealisasi gara-gara Soeharto keburu lengser. Jet-jet tempur berparuh bengkok ini baru hadir pada tahun 2008, dua Su-27SK dan dua Su-27MK, seiring pemesanan ulang. Dilanjutkan dengan pemesanan tiga Su-27MK2 dan tiga Su-27SKM, untuk melengkapi kekuatan satu skadron Flanker, yang berbasis di Makassar.

Frontline Fighter
Sejarah Su-27 diawali pada tahun 1969. Ketika itu, Uni Soviet yang terlibat perang dingin dengan AS, mengendus bahwa rivalnya itu tengah mengembangkan jet tempur mutakhir. Proyek yang dinamakan Fighter Experimental Design itu digarap oleh pabrikan McDonnel Douglas. Misinya adalah melahirkan jet tempur serba bisa, sadis pada duel udara, ganas sebagai pencegat, dan trengginas untuk mendukung serangan darat. Dari proyek itulah kelak muncul jet tempur jempolan angkatan udara AS, F-15 Eagle.

Mengantisipasi hal itu, Soviet segera membentuk program PFI (perspektivnyi frontovoy istrebitel, Advanced Frontline Fighter), program pengembangan pesawat untuk menandingi jet tempur baru Amerika. Dalam perjalanannya, proyek ini dipecah dua, dengan pertimbangan efisiensi biaya. Yang satu menjadi LPFI (Lyogkyi PFI, atau Lightweight PFI), yang di kemudian hari melahirkan jet tempur taktis jarak pendek MiG-29 Fulcrum. Satunya lagi adalah TPFI (Tyazholyi PFI/Heavy PFI). Untuk kategori frontline fighter kelas berat itu, dipercayakan kepada Sukhoi OKB (Biro Desain Sukhoi), yang kelak berhasil melahirkan Su-27 berikut varian-variannya.

Prototipe jet ini pertama terbang pada Mei 1977. Tentu saja kemunculannya sangat dirahasiakan. Namun, tetap saja tak luput dari pengintaian satelit mata-mata AS, ketika terbang di Zhukovsky Flight Test Center, yang berada di dekat kota Ramenskoe. Pihak AS yang memberi kode RAM-K (diambil dari Ramenskoe) untuk pesawat prototipe ini, menggambarkan bahwa jet tempur tersebut memiliki sayap delta yang lebar, bermesin dua, sirip tegak ganda. Sepintas mirip dengan F-14 Tomcat milik AS. Belakangan, prototipe dengan kode T-10 ini dijuluki “Flanker-A”.

Su-30 AU Rusia
Su-30 AU Rusia

Prosesnya menuju produksi massal agak kurang mulus. Satu T-10 hancur gara-gara kecelakaan pada saat uji terbang, pada Mei 78. Sukhoi OKB lantas mendesain ulang, memperbaiki kelemahan yang ada, dan meluncurkan T-10S, prototipe berikutnya. Itupun masih kurang sempurna, menyusul kecelakaan pada uji terbang di bulan Desember 1981, beberapa bulan setelah penerbangan perdananya.

Baru setelah mengalami sejumlah penyempurnaan, SU-27 mulai masuk produksi massal pada 1982 dan resmi masuk jajaran angkatan udara Soviet pada tahun 1984. Su-27 generasi pertama, yang dijuluki “Flanker-B” oleh NATO ini, disalurkan ke departemen pertahanan udara (PVO), sebagai skadron pencegat (interceptor), menggantikan jet-jet lawas semacam Sukhoi Su-15 dan Tupolev TU-28. Sebagian lagi dimasukkan dalam jajaran angkatan udara Soviet (VVS). Meski dirancang sebagai pesawat serba guna, angkatan udara memilih memfungsikan jet tempur mutakhir ini untuk tugas membunuh armada tanker udara dan AWACS blok barat. Petinggi angkatan udara Soviet ketika itu melihat, AWACS dan pesawat tanker adalah aset vital bagi kesuksesan operasi udara blok barat. Dengan mematikan dua aset maha penting itu, dijamin skadron penempur barat tak bakal banyak berkutik.

Penempur Revolusioner
Boleh dibilang Flanker adalah salah satu masterpiece industri pesawat tempur Rusia. Dirancang sebagai pesawat serba bisa, ganas sebagai pencegat (interceptor), trengginas untuk duel udara (fighter), dan mumpuni untuk mendukung serangan darat (air support/attacker). Mampu terbang di segala cuaca, bahkan menembus badai sekalipun. Tetap garang meski diterbangkan di udara kutub yang beku, dan tetap handal saat dioperasikan di suhu lembab dan panas wilayah tropis.

Tak seperti jet-jet tempur Soviet sebelumnya yang umumnya tampak kuno dan kaku, Flanker sudah memiliki bentuk futuristik dan modern. Sudah pula menerapkan teknologi fly by wire dengan kokpit digital. Bodinya sungguh streamline, meski berukuran besar untuk sebuah fighter. Menggunakan sirip tegak ganda, dan sayap luas mirip sayap delta –namun bukan sayap delta. Body Flanker terbuat dari titanium dan aluminium alloy berkekuatan tinggi, sehingga menghasilkan pesawat yang seringan kaleng namun sekokoh baja.

Mesinnya sendiri menggunakan dua Lyulka Saturn AL-31-F Turbofan, yang masing-masing memiliki tenaga dorong 12.550 kg. Mesin ini didesain dan dibuat oleh Lyulka Engine Design Bureau (NPO Saturn). Lubang air intake yang berada di bagian bawah, memiliki jarak lumayan lebar antara satu dengan yang lainnya. Tujuannya, selain alasan faktor safety, juga menambah luas permukaan untuk daya angkat pesawat. Selain, ruang antara dua mesin itu bisa dipakai untuk menggendong persenjataan.

Lubang air intake dilindungi semacam kisi-kisi, untuk mencegah debu dan partikel lain masuk ke mesin. Terutama saat take off dan landing. Sementara lubang sembur jetnya, menggunakan konsep thrust vectoring. Teknologi revolusioner ini memungkinkan arah semburan jet bisa diatur, sesuai dengan pergerakan pesawat. Itu yang membuat Flanker punya kemampuan hebat dalam manuver. Konsep ini kemudian pernah dicoba ditiru Amerika, namun tak sesukses pesaingnya dari Rusia itu.

Karena itulah, Flanker mampu menggendong arsenal dengan total berat 6000 kg. Termasuk di antaranya, 10 misil udara ke udara (AA), yang terdiri dari misil jarak menengah dengan semi active radar homing jenis R-27R1 (NATO menyebutnya AA-10A Alamo-A), misil AA jenis R-27-T1 (AA-10B Alamo-B) yang punya jangkauan 500 m hingga 60 km dan dipandu dengan infrared, serta R-73E (AA-11 Archer) yang berguna untuk pertempuran jarak dekat berpanduan infrared, dan mampu menerkam musuh dari jarak 300 m hingga 20 km.

su-30mk-asia-users

Alat gebuk lainnya adalah rudal udara ke darat, serta aneka bom freefall seberat 100kg, 250 kg, dan 500 kg, bom cluster (25 kg – 500 kg) dan roket C-8, C-13, dan C-25. Plus, canon 30 mm jenis Gsh-301 yang mampu memuntahkan peluru 150 butir per putaran serta jarak jangkau sejauh jangkauan misil jarak pendek.

Sistem pembidian dan penguncian target terintegrasi dengan helm penerbang. Kaca helm mampu menampilkan display layar bidik, dengan sistem look down shot down. Jadi, pilot cukup menoleh ke sasaran, dan sistem radarnya akan mengunci sasaran. Tinggal tekan pelatuk, maka misil Alamo atau Archernya akan melesat mengejar sasaran. Hebatnya lagi, Flanker mampu mengunci sepuluh sasaran sekaligus.

Itu bisa dilakukan karena Flanker didukung dengan sistem radar Phazotron N001 Zhuk coherent pulse doppler radar. Jangkauan radarnya luar biasa, mampu mencium dan melacak target seluas 3 meter persegi yang berada 100 km di depan pesawat, dan 40 km di belakang pesawat. Su-27 menggunakan sistem pembidik infrared search and track (IRST), yang ditempatkan di bagian depan kokpit. Sistem ini terintegrasi dengan sistem laser range finder. Sistem ini bisa digabungkan dengan sistem radar, dan bisa pula bekerja terpisah, apabila pilot hendak melakukan serangan diam-diam (stealth attack).

Sementara untuk menghindari dari bokongan lawan, Su-27 punya perlengkapan countermeasure elektronik, yang mampu memberi peringatan kepada pilot, baik secara individual maupun untuk gugus terbang. Sistem peringatan ini terdiri dari radar peringatan, chaff dan infrared decoy –keduanya perangkat pengalih kejaran misil, dan multi-mode jammer aktif, yang ditempatkan di wingtip.

Sebagai pesawat serba guna, Flanker bisa melejit dengan kecepatan 2.500 km per jam (mach 2,35) pada ketinggian jelajah. Kemampuan menanjaknya 325 meter per detik, atau 64 ribu kaki per menit. Flanker sudah mampu mencapai ketinggian terbang maksimal (18,5 km) dalam waktu kurang dari semenit.

Patukan Cobra
Tapi bukan itu saja yang membuat blok barat ngeri terhadap kemunculan Flanker. Keunggulan utamanya adalah kemampuan manuver yang sangat tinggi, paling tinggi dibanding jet-jet tempur yang pernah ada. Bahkan disebut-sebut sebagai pesawat tempur tak tertandingi untuk urusan tarung udara (dog fight).

Manuver Cobra Pugachev
Manuver Cobra Pugachev

Bagaimana tidak, Flanker mampu membuat belokan tajam dengan radius sangat kecil. Dengan mudah melakukan loop (gerakan lingkaran ke atas) dengan radius yang nyaris nol. Pilot bisa dengan enaknya mengendalikan dan meliuk-liukkan pesawat meski dalam kecepatan rendah dan dalam ketinggian rendah. Manuver akrobat semacam Immelman dan split-S dilakukan nyaris tanpa radius putar.

Dan yang paling spektakuler adalah manuver pagutan cobra, atau Cobra Pugachev. Manuver ini kira-kira bisa dijelaskan begini: Pesawat melaju datar, lalu dengan tetap bergerak datar, moncong bengkoknya mulai mendongak, dan terus mendongak hingga sudut 120 derajat (seperti menengadah). Setelah beberapa saat, moncongnya kembali ke posisi awal. Mirip dengan gerakan ular kobra yang siap mematuk. Manuver luar biasa yang diperkenalkan oleh Viktor Pugachev, pilot uji Sukhoi OKB, memberikan sudut serang (angle of attack) sangat besar, yang membuat pesawat lawan hanya punya kemungkinan selamat 1% saja.

Di tangan pilot trampil, Flanker juga bisa digenjot mendaki tegak lurus, lantas pada puncaknya, pesawat seakan-akan berhenti dan mengambang di angkasa. Detik berikutnya, pesawat seperti jatuh (stall), padahal dengan satu gerakan ringan, pesawat sudah kembali ke posisi normal. Kemampuan hebat itu, didapat dari rancangan lubang sembur jet yang dinamakan thrust vectoring. Lubang sembur Flanker bisa bergerak-gerak, mengikuti arah gerakan pesawat. Ditambah dengan rancang aerodinamika yang kompak, membuat Flanker mampu menari-nari di angkasa dengan enteng.

Combat Proven?
Kemampuan manuver yang super hebat itu, di satu sisi memang mengundang decak kagum dan membuat miris kompetitornya. Meskipun di lain pihak, terutama dari kalangan pilot Amerika, menyebut kemampuan manuver seperti itu tak banyak guna di era perang udara modern, yang lebih mengandalkan serangan jarak jauh lewat rudal yang makin akurat mengejar target. Sederhananya: “Silahkan saja Anda meliuk-liuk, toh kami masih bisa mengunci dan menembak Anda dari jauh.”

Pada kasus itu memang membuktikan perbedaan filosofi tarung udara antara blok barat dan Rusia. Pihak Barat, yang lebih mementingkan keamanan dan keselamatan pilot, cenderung mengembangkan pesawat-pesawat yang punya kemampuan mendeteksi, mengunci dan menembak sasaran dari jarak sangat jauh (long range), plus perangkat pengacau elektronik (jamming). Ini untuk mendukung taktik hit and run, atau istilahnya “Fire and Forget”, lepaskan rudal dan biarkan rudal yang mencari sasaran, sementara pilot langsung cikar kanan untuk menghindari dogfight. Sementara Rusia, justru mengembangkan jet-jet yang mampu bertempur jarak dekat. Flanker dan turunannya adalah contoh bagus bagi filosofi ini.

Su-30 AU India dengan beragam rudal udara ke udara
Su-30 AU India dengan beragam rudal udara ke udara

Meski diklaim sebagai petarung udara terbaik saat ini, pada kenyataanya Flanker belum pernah teruji pada medan pertempuran sesungguhnya. Beda dengan kompetitornya, F-15, yang sudah merasai sejumlah kancah tempur. Dan belum pernah kejadian juga Flanker terlibat adu jago sesungguhnya dengan jet-jet saingan dari blok barat.
Duel udara antara Flanker dengan jet-jet NATO semacam F-15 Eagle baru sebatas dilangsungkan di simulator. Pada beberapa simulasi dogfight yang melibatkan Flanker, jet andalan Rusia itu bisa dengan mudah mengungguli lawan-lawannya.

Namun begitu, tercatat Flanker pernah terjun pula di peperangan, meski dalam skala kecil. Pada Februari 1999, skadron Su-27 milik Ethiopia dilaporkan terlibat bentrok dengan kelompok MiG-29 milik Eritrea. Pada insiden itu, lima MiG-29 berhasil dirontokkan Flanker. Pada November 2000, sebuah Flanker milik angkatan udara Angola, ditembak jatuh oleh misil SA-14 darat ke udara yang ditembakkan pasukan UNITA. Yang teranyar adalah keterlibatan Flanker dari angatan udara Rusia dalam perang di Ossetia Selatan pada 2008. Flanker diterjunkan untuk misi menguasai wilayah udara Tskhinvalli, ibukota Ossetia Selatan. Yang jelas, dalam aksi-aksi tempur tersebut, Flanker memang tak berhadapan dengan lawan sepadan.

e8e3db0809aa3e4d2de9bb27fcf3ee8e

Pilihan Tepat

Buat Indonesia, Flanker adalah pilihan tepat. Secara teknis, Flanker paling pas untuk melakukan misi patroli udara untuk mengcover wilayah Indonesia yang terbentang mencapai 5000 km ini. Jet canggih ini mampu menempuh jarak tempur 3.000 km, tanpa perlu pengisian bahan bakar di udara. Juga cocok untuk digunakan mencegat penyusupan pesawat musuh (interceptor), dengan kemampuan lepas landas dan climbing rate yang fantastis.

Faktor rendahnya biaya operasi serta harganya yang relatif murah dibanding F-16 sekalipun, makin membuat Flanker pilihan ideal untuk memperkuat skadron udara Indonesia.Apalagi, pemerintah Rusia tak keberatan bila jet canggih ini dibayar sebagiannya dengan sembako. Dan tak ada embel-embel embargo pula. Saat ini Indonesia suah memiliki tujuh dari rencana sepuluh unit Flanker, yang terdiri dari dua varian. Yakni, Su-27SK berkursi tunggal dan Su-30MK yang berkursi ganda (bisa digunakan sebagai pesawat latih). (Aulia Hs)

Cadilage Cage Commando Scout: Panser Mini Pengawal Presiden RI

Tak jelas mulai kapan Commando Scout mulai digunakan satuan Taipur (Intai Tempur) Kostrad, namun sebelumnya Commando Scout lebih kondang sebagai panser ringan yang digunakan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Debut kedatangan panser besutan Cadilage Cage ini bersamaan dengan rantis Commando Ranger yang juga digunakan Paspampres di era 80-an. Berbeda dengan Commando Ranger, Commando Scout dirancang sebagai ranpur intai lapis baja, meski bekal persenjataan yang dibawanya terbilang terbatas untuk bertahan.  (more…)

KRI Irian : Monster Laut Kebanggaan Indonesia

Sebagai bangsa maritim, sudah seyogyanya kita memiliki angkatan laut yang mumpuni. Tidak hanya bicara soal kualitas dan kuantitas persenjataan, tapi sudah sepatutnya kita mempunyai arsenal persenjataan yang bisa menggetarkan nyali lawan. Hal inilah yang dahulu begitu dibanggakan bangsa Indonesia di era tahun-60an. Selain punya armada angkatan udara yang terkuat se Asia Tenggara, Angkatan Laut (TNI-AL) dikala itu memiliki kapal perang tipe penjelajah ringan buatan Uni Soviet. (more…)

MIG-21 Fishbed : Pencegat Terpopuler Sejagad


Tahun 1962, Indonesia tengah bersitegang dengan Belanda soal Irian Barat. Indonesia mengklaim wilayah itu merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara Belanda berpendapat lain, dan tetap menduduki Irian Barat, yang kini dikenal sebagai Propinsi Papua. Dan tampaknya, perselisihan itu akan diselesaikan lewat jalur perang. (more…)

NBO-105: Pernah Jadi Heli Serang Utama TNI AD

bo105js3
(foto : M Radzi Desa)

Untuk mendukung tugas pertempuran di darat, TNI-AD punya andalan helikopter serang. Helikopter yang dimaksud adalah NBO-105 CB yang diproduksi oleh IPTN atas lisensi MBB, Jerman. Sebagai helikopter serang, NBO-105 dipersenjatai empat senapan mesin FN Herstal MO.32 kaliber 7,62 mm standard NATO yang ditempatkan dalam dua TMP (Twin Machine Gun Pods) atau dua senapan mesin FN Herstal M.3P kaliber 12,7 mm NATO dalam tiga HMP (Heavy Machine Gun Pods). (more…)

Boeing 737 Surveillance – Jet Pengintai TNI-AU

b737mrop4
(Foto : Indoflyer.net)

Tampilannya tak beda jauh dengan pesawat komersial biasa, akan tetapi kemampuannya sangat luar biasa. Pesawat Boeing-737 milik TNI Angkatan Udara ini mampu mengamati seluruh gerak-gerik di atas perairan Indonesia yang luasnya mencapai 8,5 juta kilometer persegi. (more…)

Sidewinder: Si Pemburu Panas Andalan TNI-AU

F-16 TNI-AU dengan AIM-9 P4 Sidewinder
F-16 TNI-AU dengan AIM-9 P4 Sidewinder (foto : TB Rachman)

Meski secara teknologi TNI AU tak ketinggalan dalam update pengadaan pesawat tempur, lain halnya dengan persenjataan yang melengkapi pesawat tempur. Akibat anggaran pembelian yang serba ngepas, TNI AU hingga kini hanya dibekali rudal udara ke udara secara terbatas.

Rudal andalan TNI AU tak lain adalah sidewinder. Rudal pemburu panas ini mulai hadir sejak awal tahun 80-an. Dari beberapa tipe pesawat tempur yang dimiliki, diketahui hanya tiga jenis pesawat tempur yang mampu menggotong sidewinder, yakni F-5 Tiger, F-16 Fighting Falcon dan Hawk 100/200.

AIM-9 P4 Sidewinder
AIM-9 P4 Sidewinder

Ada dua tipe sidewinder milik TNI AU, yakni AIM-9 P2 dan AIM-9 P4 sidewinder. Paket rudal AIM-9 P2 dibeli bersamaan dengan pengadaan 16 pesawat tempur F-5 E/F Tiger yang pertama datang pada 21 April 1980.

Sedangkan tipe AIM-9 P4 dibeli bersamaan dengan pembelian 12 pesawat tempur F-16 A/B Fighting Falcon pada tahun 1989. Rudal sidewinder untuk pertama kal ditembakkan pada tahun 1989 di selatan Samudra Hindia. Rudal diluncurkan dari dua F-5 yang lepas landas dari lanud Ngurah Rai, Bali.

Moncong Sirip AIM-9 P4 Sidewinder
Moncong Sirip AIM-9 P4 Sidewinder

Apa perbedaan antara AIM-9 P2 dan AIM 9 P4? Letak perbedaannya cukup mencolok, dengan AIM 9 P2 mengharuskan pilot menempatkan musuh di depannya agar rudal dapat menuju pesawat musuh. Sebab rudal ini hanya akan menuju panas yang dikeluarkan dari exhaust.

Sebaliknya rudal AIM 9 P4, meski sama-sama mengarah ke panas tetapi rudal ini akan membidik panas yang ditimbulkan oleh perbedaan suhu akibat gesekan bodi pesawat dengan udara. Dengan demikian AIM 9 P4 bisa ditembakkan meskipun pesawat musuh datang dari depan dalam posisi berhadapan. Dari perbedaan teknis ini mengubah cara dan konsep pertempuran udara (dog fight).

Formasi Tempur F-5 E
Formasi Tempur F-5 E

Rudal buatan Raytheon Company, AS ini memiliki banya varian, tipe terbarunya adalah AIM 9X yang mulai digunakan militer AS tahun 2003 lalu. Untuk tipe AIM 9 P4 milik TNI AU memiliki kecepatan luncur 2.5 Mach dalam tempo waktu 2,2 detik. Jangkauan rudal efektif adalah 17,7 Km dengan lama misi 60 detik. Bobot sidewinder sendiri sekitar 78 Kg. (Haryo Adjie Nogo Seno)

RBS-70 : Rudal Pencegat Supersonik Jarak Dekat

Gelar tempur RBS-70
Gelar Tempur RBS-70

Kehadiran elemen artileri pertahanan udara (Arhanud) mutlak diperlukan untuk melindungi obyek-obyek penting negara. Salah satu arsenal Arhanud milik Indonesia adalah rudal RBS-70. Meski bukan produk baru, rudal ini masih jadi tulang punggung pertahanan udara, selain rudal Grom. Sampai saat ini RBS-70 dioperasikan oleh Batalyon Arhanud Kodam dan Kostrad. Sifatnya yang mobile, alias mudah dipindahkan dan dirakit membuat rudal buatan Saab Bofors Dynamics, Swedia ini banyak dipakai oleh militer di banyak negara. Untuk gelar operasinya, RBS-70 umumnya dipadukan dengan radar Giraffe sebagai pemandu target. (more…)

F-86 Avon Sabre – “Born to Fight” dari Era Perang Dingin

F-86 Sabre di Museum Dirgantara Mandala - Yogyakarta

Buah dari krisis politik pasca tumbangnya partai Komunis Indonesia, maka berakhir pula era persenjataan asal blok timur. Sejak ditinggalkan oleh Uni Soviet, tak ada cara lain bagi Indonesia untuk melirik arsenal senjata asal blok barat. Salah satu arsenal tempur di era transisi itu adalah F-86 Sabre. Sebuah jet tempur berkursi tunggal yang legendaris di era Perang Korea. (more…)