Australia Canangkan Penggantian E-7A Wedgetail, Bagaimana Nasib Indonesia untuk Punya AEW&C?

Bagi Indonesia, memiliki pesawat intai dengan kemampuan AEW&C sepertinya masih merupakan jalan panjang yang belum jelas bagaimana akhirnya, padahal rencana akuisisi pesawat AEW&C sejatinya telah tertuang dalam MEF (Minimum Essential Force) II 2015-2019. Lain dengan Indonesia yang masih berencana untuk punya, maka lain halnya dengan Australia, negara benua di selatan Indonesia ini malahan sudah mencanangkan untuk mengganti Boeing E-7A Wedgetail AWACS (Airborne Early Warning and Control System).

Baca juga: Boeing E-7A Wedgetail – Stasiun Radar Terbang Perisai Ruang Udara Australia

Padahal E-7A Wedgetail masih terbilang pesawat yang canggih untuk misi AEW&C (Airborne Early Warning and Control) dan beberapa waktu lalu juga sempat ada rumor, bahwa Wedgetail menjadi nominasi kuat untuk pesawat AEW&C TNI AU. Dikutip dari Janes.com (15/7/2020), disebutkan Departemen Pertahanan Australia (DoD) telah mengonfirmasi rencana penggantian enam unit E-7A Wedgetail yang saat ini dioperasikan AU Australia (RAAF).

Penggantian E-7A Wedgetail telah masuk dalam proyek AIR7002 Phase 1, dimana proses akan dimulai pada tahun 2029. Pada saat itu, program studi akan dimulai mencakup aspek rancangan dan pengurangan risiko, sementara proses penggantian E-7A dijadwalkan akan dimulai pada semester kedua tahun 2030.

Sedangkan untuk armada E-7A Wedgetail yang kini beroperasi bakal mendapatkan paket upgrade di bawah proyek AIR5077 Phase 6, dimana nilai proyek upgrade ini menelan biaya AU$2,3 – 3,5 miliar (US$1,6 – 2,4 miliar). Menurut rencana, proyek upgrade AIR5077 Phase 6 diharapkan dapat tuntas pada tahun 2028.

AU Australia mulai mengoperasikan E-7A Wedgetail pada tahun 2010, dan pada Mei 2020, RAAF merayakan 10 tahun operasional sistem radar terbang ini. Bagi negara tajir sekelas Australia, rencana akuisisi alutsista mendapat perencanaan yang matang, Australia telah mengukur pada tahun 2030, masa operasional E-7A Wedgetail akan mencapai 20 tahun. Angka operasional 20 tahun boleh jadi sudah dianggap ‘tua’ untuk kelas Australia. Meski begitu ada juga selentingan yang menyebut sebenarnya AU Australia kurang puas dengan kinerja radar yang terpasang di atas fuselage.

E-7A Wedgetail mengadopsi platform pesawat komersial Boeing 737-700 dan dilengkapi struktur radar yang berukuran besar pada bagian punuk pesawat. Radar ini dapat diset untuk mendeteksi seluruh penerbangan sipil dan militer dalam radius 600 Km (look up mode) dan 370 Km (look down mode) dari posisi yang sangat strategis. Disebut posisi yang strategis karena dalam tugas-tugasnya pesawat ini akan memantau dari ketinggian 30.000 – 40.000 kaki, jelas posisi yang tak akan mungkin didapat jika menggunakan radar di darat (ground radar).

Radar pada punuk Boeing 737 Wedgetail populer disebut radar MESA (Multi Role Electronically Scanned Array). Sesuai dengan namanya, piranti elektronik ini mampu memindai 180 obyek secara simultan, dan memilah-milahnya, mana yang dikenal dan mana yang masuk kategori black flight. Peran ini juga dikenal sebagai intai udara (surveillance) lewat dukungan fitur IFF (Identification Friend or Foe), bahkan sensor yang ada di pesawat dapat memilah-milah frekuensi radio yang saling tumpang tindih. Radar MESA beroperasi dalam gelombang I-band, yakni pada frekuensi 1,215 – 1,4 Ghz.

E-7A Wedgetail juga punya kemampuan air refueling system.

Baca juga: Pengadaan Pesawat Intai Strategis, Jika Tak Jadi Prioritas, Sepuluh Tahun Lagi Bakal Ada Masalah Serius!

Lepas dari itu semua, otoritas perhatanan Australia rupanya memahami, bahwa pengadaan pesawat intai AEW&C tak bisa diwujudkan dalam waktu singkat. Sebagai ilustrasi, AU Australia mulai mengorder pesawat Boeing E-7A Wedgetail pada tahun 2001, dan baru tujuh tahun kemudian mulai menerima pesanannya. (Haryo Adjie)

26 Comments