APC dan IFV – Tulang Punggung Batalyon Infanteri Mekanis TNI AD
|Sesuai tuntutan jaman, taktik dan strategi kemiliteran mengalami dinamika yang menarik untuk dicermati, bila sebelum tahun 2000, TNI AD masih berkutat pada pengembangan light infanteri atau infanteri berjalan, maka kini perlahan namun pasti, TNI AD mulai melengkapi unit tempur infanterinya dengan elemen yang lebih modern, yakni Infanteri Mekanis, atau dalam terminologi saat ini kondang disebut Batalyon Infanteri Mekanis (Yonif Mekanis).
Baca juga: Marder 1A3 – IFV Pertama Untuk TNI AD
Dalam konsep Infanteri Mekanis, gelaran pasukan infanteri yang di dukung ranpur lapis baja dapat menuju sasaran tempur dengan mobilitas lebih tinggi, terlindungi selama perjalanan, dan sekaligus bisa memberi daya pukul lewat ranpur pembawa infanteri yang telah dipersenjatai. Hingga tulisan ini dibuat, TNI AD setidaknya sudah punya tiga Yonif Mekanis, yakni Batalyon Infanteri Mekanis 201/Jaya Yudha, Batalyon Infanteri Mekanis 202/Tajimalela serta Batalyon Infanteri Mekanis 203/Arya Kamuning. Ketiga ada dalam pembinaan Brigade Infanteri-1 PIK/Jayasakti, Kodam Jaya.
Ketiga Yonif Mekanis di atas mengusung ranpur jenis APC (Armoured Personnel Carrier) Anoa buatan Pindad. Bahkan, kini sedang dalam proses pembentukan Yonif Mekanis yang lebih sangar, yakni Yonif Mekanis 413 Bremoro kostrad yang akan dilengkapi ranpur IFV (Infantry Fighting Vehicle) Marder 1A3 dari Jerman. Lepas dari itu, beberapa Yonif Mekanis di tiap-tiap Kodam juga tengah dipersiapkan.
Guna memenuhi target pembentukan Yonif Mekanis di tiap Kodam tentu perlu upaya keras dari sisi pengadaan. Melihat komposisi yang ada, kekuatan Yonif Mekanis tak melulu berupa panser APC, seperti halnya Anoa yang dibekali SMB (Senapan Mesin Berat) CIS 50 kaliber 12,7 mm atau pelontar granat AGL-40, tapi juga diisi komposisi ranpur beroda rantai. Untuk kategori ini ada IFV Marder 1A3 dan APC M113 A1 yang belum lama di pamerkan saat HUT TNI Ke-69.
Antara APC dan IFV
Baik APC dan IFV sama-sama ‘sesua;i untuk kelengkapan Yonif Mekanis, keduanya pun dapat terdiri dari jenis ranpur beroda ban (panser) atau beroda rantai. IFV punya kemiripan dengan peran APC, yaitu sama-sama bertugas menghantarkan prajurit yang diangkutnya ke wilayah operasi yang telah ditentukan. Tapi IFV punya kemampuan ‘lebih’ dibanding APC. APC utamanya dibekali dengan senjata untuk self defence, ujung-ujungnya senjata yang digotong paling banter adalah SMB (senapan mesin berat) atau pelontar granat AGL-40, di lingkungan TNI biasa digunakan SMB dari jenis M2HB Browning atau CIS 50MG. Jenis ranpur yang masuk kategori APC bisa kendaraan lapis baja roda rantai atau roda ban. Jenis-jenis APC milik TNI saat ini adalah AMX-13 VCI, BTR-50P, Alvis Stormer, LVTP-7, M113 A1, dan panser Anoa buatan Pindad.
Sementara di lini IFV, ranpur tampil lebih sangar, meski mengemban sebagai media transport personel, IFV dipersenjatai dengan kanon kaliber menengah, biasanya kaliber 20 mm keatas, sehingga lumayan efektif untuk ikut menyerang secara langsung target, atau bisa diperankan sebagai wahana bantuan tembakan yang menakutkan lawan. Masuk dalam golongan IFV milik TNI adalah Marder 1A3, BTR-80A, BVP-2, BMP-3F, dan Tarantula 6×6.
Masalah Bobot Pada IFV
Meski resminya tak punya satuan Infanteri Mekanis, tapi untuk urusan IFV, Korps Marinir lebih senior ketimbang TNI AD. Korps Baret Ungu ini sudah mengenal IFV sejak satu dekade silam, lewat hadirnya BVP-2, BTR-80A dan terakhir BMP-3F. Sementara TNI AD baru merasakan sensasi IFV lewat Marder 1A3. Ada perbedaan yang fundamental terkait IFV Marder yang notabene buatan Negeri Barat dengan IFV milik Korps Marinir yang besutan Rusia/Eropa Timur.
Penambahan bobot akibat up armoured menimbulkan masalah tersendiri dalam pengembangan IFV. Idealnya bobot ranpur IFV memiliki bobot tempur maksimum 20 ton. Tetapi dengan peningkatan bobot menjadi 30 atau 40 ton akan berdampak pada masalah transportasi, terutama bila ingin menggunakan mobilitas udara. Dari segi efisiensi, penambahan bobot dinilai kurang relevan dalam pengerahan di lapangan. Pertimbangannya, ranpur menjadi tidak dapat diterjunkan di segala medan pertempuran, karena tidak semua medan mampu menampung kendaraan dengan bobot melebihi 20 ton.
Selain itu, dalam transportasi udara, dimana tadinya ranpur dapat diangkut dengan jenis pesawat angkut berat C-130 Hercules, maka kini harus dipilih pesawat angkut yang lebih besar, seperti C-5 Galaxy atau C-17 Globemaster. Peningkatan bobot juga berpengaruh pada kemampuan mesin, tenaga mesin harus ditingkatkan untuk mendapatkan rasio yang sebanding. Contohnya, seperti pada pengembangan IFV Bradley dan Marder. Mempertahankan bobot kendaraan menjadi perhatian tersendiri bagi perancang maupun pemakai. Untuk meningkatkan kemampuan proteksi balistik pada ranpur APC dan IFV, banyak yang memutuskan untuk memberikan tambahan pelapis kevlar pada bagian dinding kendaraan.
Konsekuensi dari APC ke IFV
Upgrade dari APC ke IFV dengan adanya penambahan kubah kanon dan penambahan lapisan baja, berimbas menurunnya efisiensi kendaraan, kasus yang menarik bisa dijumpai pada ranpur M113 A1 dan AMX-10 yang dimiliki Korps Marinir TNI AL. Faktanya bisa terlihat pada pembagian kompartemen di dalam kendaraan menjadi kurang efisien. Pada umumnya jenis APC dan IFV menempatkan posisi mesin penggerak pada bagian depan kendaraan sampai sebelah ruang kemudi. Dengan penambahan kubah, maka kompartemen pengemudi akan tersekat oleh keranjang kubah, dan sisa ruang tampung personel/pasukan akan menjadi lebih sempit lagi, akhirnya jumlah personel infanteri yang dibawa akan menjadi berkurang.
Selain itu, dengan penambahan sistem kubah, saat kendaraan sudah mencapai daerah pertempuran, personel yang disebar akan semakin kecil jumlahnya, karena kendaraan akan terus bermanuver. Dan, karena kelengkapan senjatanya kendaraan akan memberikan dukungan penembakan, maka setidaknya tiga personel (awak) akan tetap berada di dalam ranpur. Pada awalnya, ranpur dapat menyebar 10 hingga 11 personel, namun setelah dibekali kubah kanon, maka jumlah personel yang bisa disebar maksimum hanya delapan, bahkan umumnya kurang dari itu.
Perbedaan Pandangan Antara Barat dan Timur
Dalam pengembangan ranpur IFV, terdapat perbedaan pandangan antara para perancang Rusia dengan para perancang dari pihak Negara Barat/AS. Rusia hingga kini masih berpegang pada konsep BMP/BVP-2 dalam pengembangan IFV dengan mempertahankan bobot sekitar 15 ton dan punya kemampuan amfibi. Sementara IFV ranncangan Barat, seperti Marder 1A3, Warrior, dan Bradley, punya bobot melebihi 30 ton. Selain itu, IFV besutan Barat dinilai cenderung memperbesar ukuran untuk mencapai perbandingan yang ideal dengan sistem senjata yang dibawa, yang pada akhirnya lebih cenderung sebagai kekuatan kavaleri. Hal ini dianggap kurang efisien dalam mendukung gerakan maju pasukan infanteri.
Karakteristik ideal ranpur IFV akhirnya akan sulit dipertahankan pada titik ideal. Rusia masih berupaya mempertahankan konsep karakteristik ideal pada perbandingan bobot dan tenaga mesin, sistem kemudi, dan sistem suspensi, untuk memberikan kenyamanan dalam gerak lintas alam dan dapat memberikan perlindungan bagi personel infanteri yang didukungnya. Sementara itu, pengembangan IFV pihak Barat dianggap lebih menuju kepada peningkatan kemampuan daya tembak (fire power) dibandingkan sebagai sarana transportasi pasukan infanteri.
Kehadiran ranpur IFV akan sangat menunjang kemampuan daya pukul pasukan infanteri apabila pemilihan kendaraan sangat sesuai dengan perkiraan medan tempur yang akan dihadapi. Pengembangan IFV di masa mendatang akan menghadai suatu dilema, dimana para perancang harus membuat suatu keputusan antara kemampuan daya tembak, kemampuan manuver, dan kemampuan daya dukung terhadap pasukan infanteri.
https://www.youtube.com/watch?v=iAm_eRbLLD4
Namun, apabila ukuran kendaraan diperkecil dengan asumsi tetap adanya penambahan lapis baja, namun dengan mempertahankan bobot, maka jumlah personel yang dapat diangkut akan semakin sedikit. Dan dalam satu Yonif Mekanis akan diperlukan penambahan jumlah kendaraan. Hal ini juga akan berakibat diperlukan penambahan personel pendukung untuk mengawaki kendaraan tanpa mengurangi jumlah personel tempur.
Versi Roda Rantai dan Roda Ban
Pemilihan jenis ranpur antara beroda rantai dan beroda ban akan sangat bergantung kepada jenis mayoritas medan tempur yang dimiliki, atau yang diperkirakan akan diterjuni. Pada umumnya, pemakai lebih cenderung kepada spesifikasi kendaraan, antara lain dengan kemampuan amfibi.
Sementara pihak lebih condong pada pemilihan roda rantai dengan pertimbangan kemampuan jelajahnya lebih luas dibandingkan dengan jenis roda ban. Selain itu kemampuan angkut beban pada jenis roda rantai dinilai lebih tinggi.
Namun, dari segi pembiayaan, jenis roda ban dinilai lebih rendah, termasuk biaya pembelian maupun biaya operasionalnya. Selain itu, jenis roda ban lebih direkomendasikan untuk konflik berintensitas rendah maupun manuver pada masa damai. Selain formasi gerakan untuk jarak jauh lebih ekonomis dan lebih cepat tanpa merusak permukaan jalan. Namun, kelemahannya terdapat pada saat bergerak bersama dengan tank tempur melintasi medan yang sulit. Pada saat terjadi kontak senjata, untuk melakukan gerakan mundur akan dihadapi kesulitan yang sering berakibat fatal, karena dapat merusak formasi tempur atau bahkan akan menciptakan lubang lemah dari garis pertahanan.
Dari pengalaman Jerman, diperoleh suatu kesimpulan, bahwa ranpur beroda rantai, walaupun lebih berat , masih lebih efisien dalam menunjang operasi tempur dibandingkan ranpur lapis baja beroda ban. Namun, yang masih menjadi pertanyaan adalah dari segi pembiayaan, baik biaya pembelian dan biaya operasional. (Gilang Perdana)