Update Drone KamikazeKlik di Atas

Antisipasi Serangan Udara di Atas Jakarta

Dewasa ini kian bertambah Ibu Kota suatu negara berdaulat yang jadi sasaran bombing lewat serangan udara. Dengan beragam dalih dan latar belakang masalah, kita bisa melihat apa yang dialami masyarakat di Baghdad – Irak  dan Tripoli – Libya. Dan, bukan tak mungkin, berikutnya menyusul Damaskus – Suriah, Tehran – Iran, dan Pyongyang – Korea Utara, yang akan menerima serangan udara akibat konflik dengan negara lain.

Baca juga: Satuan Rudal Hanud Teluk Naga – Dari Era SA-2 Guideline Menuju Penggelaran NASAMS

Dengan teknologi tinggi yang mengandalkan presisi, target memang dapat dihancurkan secara spesifik, tapi toh pada faktanya, korban sipil tak berdosa selalu berjatuhan. Dengan dalih target spesifik, umumnya yang diincar adalah kedudukan/posisi Presiden/pemimpin militer, atau bisa juga instalasi/obyek vital lainnya, dimana sebagian besar terkonsentrasi di area Ibu kota dan sekitarnya. Maka, bukan hal yang aneh dalam operasi serangan udara yang diincar utamanya langsung target Ibu kota. Hancurnya Ibu kota juga dipandang ampuh untuk menurunkan moral dari pasukan yang bertempur. Anda mungkin masih ingat, bagaimana AS dan sekutunya begitu gigih mencari dan menghancurkan posisi pemimpin Libya, Moammar Khadafi beberapa waktu lalu.

Dalam konteks Indonesia, andaikata kita hidup di era 60-an, mungkin akan mengalami potensi ‘ketegangan’ ala rakyat di Timur Tengah. Di masa orde lama, strategi militer difokuskan pada sisi ofensif, yang berdampak pada munculnya musuh-musuh di kawasan, dan sebaliknya mulai orde baru hingga reformasi, iklim poltik diciptakan tenang, mengacu pada jargon ‘bebas aktif.’ Saya pribadi punya keyakinan, dengan kondisi yang ada saat ini, Indonesia masih sangat jauh dari ancaman serangan udara, kalau pun ada ancaman, paling hanya sebatas black flight di area-area tertentu yang kurang ter-cover dalam pantauan Kohanudnas.

Tapi mengambil istilah yang popular dalam kalangan militer, “lebih baik mandi keringat dalam latihan, daripada mandi darah dalam pertempuran,” seyogyanya kita harus senantiasa waspada pada kemungkinan-kemungkinan yang muncul akibat perubahan geo politik di kawasan. Yang tadinya negara sehabat, karena kepentingan yang bertolak belakang, bisa berubah menjadi lawan. Dalam hitung-hitungan, jika pun terjadi konflik, hanya bersifat terbatas di area hot spot, dan Ibu kota Jakarta tentunya adalah titik pertahahan inti.

Secara teori, sebelum obyek lawan mendekati Jakarta, elemen utama Kohanudnas, yakni pesawat tempur akan melakukan pencegatan (intercept). Tapi bila kenyataan lawan yang dihadang lebih superior, maka unsur artileri pertahanan udara (arhanud) harus memegang peranan kunci. Arhanud secara terpadu dapat memadukan potensi yang ada di kapal perang dan elemen di permukaan. Kembali  ke teori diatas kertas, armada jet tempur TNI AU saat ini nyatanya kalah dalam hal kuantitas dan pesenjataan dibanding milik Singapura, Malaysia, apalagi dengan Australia.

Dibawah ini adalah proyeksi kekuatan arhanud di Jakarta yang dioperasikan jajaran arhanud TNI AD pada tahun 2010 lalu, kita berharap di tahun ini, dan di tahun-tahun mendatang, kemampuan arhanud di Jakarta dan wilayah-wilayah lain di Bumi Pertiwi dapat di cover dengan lebih baik dan terintegrasi dengan alutisusta yang memadai, kembali kepada kejayaan arhanud RI di era Soekarno. Untuk bahasan lebih lengkap, sudah saya tuangkan dalam buku – Indonesian Missile, Perisai Angkasa Nusantara yang telah terbit beberapa bulan lalu.

Seperti halnya Gedung Putih di Washington DC, Istana Negara RI juga menjadi obyek vital yang harus dilindungi elemen arhanud

Tingkat Kesiapan Arhanud di Jakarta
Sejujurnya sulit untuk mengetahui tingkat kesiapan alutsista rudal di Indonesia, tentu informasi yang minim dikarenakan sisi sensitifitas dari gelar kekuatan rudal dalam sebuah operasi pertahanan. Tapi ada secuil informasi yang menarik untuk diungkap dari Laporan Kunjungan Kerja Komisi I DPR RI Pada Reses Masa Persidangan III Tahun Sidang 2009 – 2010 Ke Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Tanggal 7 – 9 Juli 2010, dalam salah satu laporan tersebut dijelaskan mengenai kesiapan unit-unit militer yang ada di Ibu Kota, dan salah satunya adalah Resimen Arhanud-1/Falatehan.

Resimen Arhanud-1/Falatehan merupakan satuan organik dijajaran Kodam Jaya yang sekaligus berperan sebagai unsur Kohanudnas dengan tugas melindungi obyek vital (obvit) di wilayah Ibukota Jakarta. Resimen Arhanud-1/Falatehan terdiri dari 3 satuan unsur pelaksana, yakni Batalion Arhanud Sedang (Yonarhanudse) 6, Yonarhanudse 10, dan Denarhanud Rudal 003. Dalam laporan tersebut juga disebutkan tugas dan cakupan operasi dari masing-masing unsur.

Keterangan : AKT – Alat kendali Temba, RET – Retrofit

Dari analisa laporan kunjungan kerja DPR tersebut dapat disimpulkan beberapa permasalahan dan tantangan yang menghadang tugas operasional Resimen Arhanud-1/Falatehan, diantaranya adalah :

–          Yonarhanudse hanya mampu melindungi 1 obvit dari 3 obvit yang menjadi tanggungjawabnya.

–          Yonarhanudse 10 hanya mampu melindungi 2 obvit dari 4 obvit yang menjadi tanggungjawabnya.

–          Denarhanud Rudal 003 hanya mampu melindungi 2 obvit dari 3 obvit yang menjadi tanggungjawabnya.

–          Jumlah amunisi yang ada tidak maksimal untuk melaksanakan operasi dan diperhitungkan hanya mampu melaksanakan 1 hari dalam kondisi perang yang sebenarnya.

–          Untuk  meriam S-60 kaliber 57 mm pada Yonarhanudse secara jumlah dan kuantitas kesiapan operasional maupun karakteristik kemampuan senjatanya tidak efektif untuk digunakan dalam mengemban misi Kohanudnas yang masih mengandalkan  teknologi manual, sehingga tidak efektif untuk menghadapi ancaman serangan udara yang berasal dari teknologi mutakhir.

–          Untuk meriam 23 mm ZUR komposit rudal Grom dipandang tepat  untuk pertahanan  dari serangan udara, namun dari segi kuantitas masig harus ditambah.

–          Belum tergelarnya sarana komunikasi secara langsung dari Komando sektor Hanudnas ke Poskodahanudnas.

–          Alat komunikasi yang dimiliki oleh resimen dan satuan jajaran memiliki kemampuan terbatas, tidak bisa online dengan alat komunikasi yang digelar pada Komanda sektor Hanudnas.

–          Kondisi sarana komando pengendalian (Kodal) yang ada saat ini masih berupa radio SSB (single side band) belum dirancang dan diuji dalam kesiapan operasi sehingga kurang efektif mendukung gelar Satbak dalam Kohanudnas.

–          Masalah yang kerap muncul dalam latihan yakni sulitnya mencari medan latihan yang memadai untuk latihan taktis maupun latihan menembak senjata berat.

Dari laporan Kunjungan Komisi DPR tersebut, disampaikan beberapa saran sebagai berikut :

–          Alut sista meriam S-60 kaliber 57 mm yang dimiliki jajaran Resimen Arhanud Falatehan saat ini sudah perlu diganti dengan sejenis rudal jarak pendek yang ditempatkan di atas kendaraan atau multi mobile launcher dan jenis rudal portable yang dapat dipanggul.

–          Untuk Den Rudal 003 perlu ditambah satbak agar memadai dalam memberikan perlindungan pada obvit yang menjadi tanggungjawabnya.

–          Fasilitas sarana komunikasi yang terintegrasi antara satuan dalam jajaran Resimen Arhanud Falatehan dengan unsur-unsur Kohanudnas.

–          Perlunya kebijakan agar dalam pembangunan wilayah disingkronisasikan dengan aspek pertahanan udara untuk mengatasi permasalahan dalam menentukan posisi gelar satbak-satbak alutsista arhanud di wilayah perkotaan. Untuk itu, perlu ada kesepakatan yang dibuat oleh TNI, Pemda dan masyarakat dimana hasil kesepakatan tersebut dimasukkan dalam rencana tata ruang wilayah.  (Haryo Adjie)

15 Comments