25 Penerbang Tempur TNI AU Jalani G-FET di Belanda, Apakah Itu?
|Tingkatkan keterampilan dan kesiapan tempur para penerbang, TNI Angkatan Udara laksanakan latihan G-Force Environment Training (G-FET) di Human Performance Innovation Aeolus, Soesterberg, Belanda.
Terbagi atas empat gelombang pelaksanaan, latihan ini diikuti oleh 25 penerbang tempur dari Skadron Udara 1, 3, 11, 12, 14, 15, 16, dan 21, mulai tanggal 28 April hingga 18 Mei 2024 lalu. G-FET ini bertujuan untuk membekali para penerbang tempur pengetahuan dan teknik melaksanakan Anti-G Straining Maneuver (AGSM) sesuai profile kemampuan pesawat tempur yang dioperasikan, sekaligus untuk menunjang keselamatan terbang (safety) dalam mengoperasikan pesawat tempur.
Latihan G-FET ini juga merupakan komitmen TNI AU untuk terus meningkatkan kualitas dan kesiapan tempurnya sebagai upaya mewujudkan TNI AU yang AMPUH dalam menjaga kedaulatan dan keamanan wilayah udara Indonesia.
View this post on Instagram
G-FET umumnya dilaksanakan dengan tiga metode, seperti centrifuge training, yakni menggunakan human centrifuge yang mensimulasikan kondisi G-force ekstrem dengan memutar trainee pada kecepatan tinggi. Kemudian menggunakan simulator penerbangan yang dapat mensimulasikan manuver penerbangan yang menciptakan G-force tinggi, dan practical flights, yakni melakukan penerbangan nyata dengan pesawat yang mampu mencapai kecepatan dan manuver tinggi untuk memberikan pengalaman langsung.
Sementara tujuan G-FET ada beberapa, mulai dari adaptasi fisiologis, yaitu membantu individu menyesuaikan tubuh mereka dengan gaya gravitasi tinggi (G-force), sehingga para penerbang dapat mengendalikan respons fisiologis seperti blackout (kehilangan penglihatan) atau G-LOC (G-induced Loss of Consciousness).
Tujuan G-FET juga meningkatkan ketahanan tubuh terhadap efek negatif dari G-force, termasuk peningkatan tekanan darah dan distribusi darah yang tidak merata. G-FET mengajarkan teknik khusus, seperti G-straining maneuvers (manuver ketegangan G) yang membantu pilot meningkatkan aliran darah ke otak dan mencegah pingsan. Melatih penggunaan peralatan seperti G-suits, yang membantu dalam distribusi tekanan pada tubuh untuk mengurangi efek G-force.
G-FET mempersiapkan pilot dan personel penerbangan lainnya dalam mengelola efek dari gaya gravitasi tinggi (G-force) yang dialami selama penerbangan berkecepatan tinggi atau manuver ekstrem. Sejarah G-FET berkaitan erat dengan perkembangan penerbangan militer dan teknologi penerbangan tinggi.
Latar belakang G-FET berasal selama Perang Dunia II, yang mana pesawat tempur mulai mampu melakukan manuver yang menghasilkan G-force tinggi. Pilot sering mengalami blackout (kehilangan penglihatan) atau bahkan G-LOC karena tidak siap menghadapi G-force tinggi. Kemudian mulai ada upaya untuk memahami dan mengatasi efek G-force pada pilot. Eksperimen awal dilakukan untuk mengembangkan teknik dan peralatan untuk membantu pilot mengelola G-force.
Aspek penting dalam sejarah G-FET adalah hadirnya G-suits, yaitu pakaian khusus yang digunakan untuk mencegah pooling darah di kaki dan abdomen, membantu mempertahankan aliran darah ke otak selama manuver G-force tinggi.
Kemudian mulai pada dekade 50-an, mulai digunakan centrifuge dalam pelatihan, khususnya untuk pelatihan Anti-G Straining Maneuvers (AGSM). Centrifuge adalah perangkat yang dapat mensimulasikan G-force tinggi dengan memutar peserta di sekitar sumbu pusat dengan kecepatan tinggi.
Pada mesin centrifuge (sentrifugal) di Human Performance Innovation Aeolus, Belanda, dilengkapi dengan gondola berayun keluar pada lengan sepanjang 4 meter, yang dapat menghasilkan tingkat kontinu maksimum sebesar 23,5 Gz dengan kecepatan permulaan 3,5 Gz/detik dari tingkat dasar 1,04 Gz. (Gilang Perdana)
Tak Perlu ke Luar Negeri, Uji Human Centrifuge Pilot Tempur TNI AU Kini Bisa di Indonesia (Lagi)
@satiwi
Dulu ketika Pak Yuyu menjabat, menemukan alat HC buatan perancis ini teronggok di lakespra selama 11 tahun.
Sebuah perusahaan swasta asing memberi penawaran perbaikan dg ongkos 170 M….tapi Mabesau tidak punya dananya.
Setelah berdiskusi dg Marsekal Dento Priyono (Komandan Koharmatau), alat ini “dibuat baru” lagi dg keroyokan gabungan teknisi Depohar, dan melibatkan ahli ITB serta mantan PT DI….dibuat baru karena Manual booknya sudah hilang entah kemana
Dalam tempo 14 bukan alat ini berhasil dihidupkan kembali dan telah mendapat sertifikasi dari dinas kelaikan udara……dan hanya menelan biaya 3,5% (6 M) dari penawaran yg disodorkan perusahaan asing diatas.
Trus sekarang anda menyarankan utk mengulang kisah sukses ini yg bujet yg minimal ……ooooooh, anda sungguh-sungguh tidak rasional ☝️
Miris, latihan begini harus ke luar negeri.
Katanya jaman KSAU Marsekal yuyu sutisna sdh diperbaiki dgn membuat part dalam negeri, apa rusak lagi HC di lakespra…??? Paling yg rusak partnya itu2 juga. Kan sdh alat CNC buatan lokal tinggal dibuat saja alat yg rusak itu, klo dulu bisa dibaikin mestinya sekarang pasti bisa. Apa harus lapor Pa Menhan dulu baru dibaikin….???
Apakah untuk batch pertama Rafale?
Wah, ketemu sama pilot Ukraina nih. Bisa lah sambil latihan bareng. Siapa tau ilmu yg dibagikan oleh Pilot dari Indonesia bisa bermanfaat, syukur-syukur bisa bantuin terjun di Ukraina kan mereka lagi kekurangan awak F-16.
Tanya bang admin, kenapa para pilot tak berlatih di Perancis saja, apakah kita akan borong pesawat Fokker lagi
Ironis ya…. Bisa ngutang beli Rafale tapi GFET belum bisa terbeli
GFET….☝️
Apakah itu GFET 🤷🏻
GFET artinya….alat yg lama rusak lagi, ga kuat beli yg baru 🙅
Mosok incarannya barang mahal-mahal, mo latihan GFET aja numpang …..asudahlah 🙄