S-60 57mm : Meriam Perisai Angkasa ‘Sepuh’ Arhanud TNI AD

S-60 Arhanudse TNI AD dalam sebuah uji penembakan

Berbicara tentang alutsista tua TNI, rasanya tak pas bila meninggalkan sosok meriam yang satu ini. Sosoknya mungkin sudah kerap dilihat banyak orang, pasalnya sedari era orde baru, meriam S-60 kaliber 57mm ini kerap tampil sebagai latar dari barisan prajurit pada perhelatan HUT ABRI/TNI, umumnya meriam ini disandingkan sejajar dengan sista tank AMX-13 MK61. Pemilihan S-60 memang tepat sebagai pemanis untuk latar acara HUT ABRI, tak lain karena panjang laras meriam anti serangan udara ini mencapai 4,39 meter, cukup gagah dan sangar bila laras ditarik keatas menjulang hingga sudut 87 derajat.

Baca juga: AMX MK61 – Howitzer 105mm Self Propelled Armed TNI AD

Resminya meriam S-60 57mm adalah buatan Uni Soviet (Rusia), mulai diproduksi sejak tahun 1950, dan mulai memperkuat arsenal sista TNI sejak era operasi Trikora di awal tahun 60-an. Dirunut dari klasifikasinya, S-60 masuk dalam meriam PSU (penangkis serangan udara) laras tunggal dengan jarak tembak target rendah dan menengah. Dengan panduan sistem penembakkan terintegrasi, jangkauan meriam ini bisa melesat hingga 6.000 meter.

Di lingkungan TNI, sedari awal S-60 langsung memperkuat etalase alutsista di korps baret cokelat, yakni pada Batalyon Artileri Pertahanan Udara Sedang (Arhanudse). Menurut informasi dari Wikipedia, Indonesia termasuk pengguna S-60 yang cukup banyak, dimana populasi meriam ini mencapai 256 pucuk. Lumayan banyaknya populasi S-60, ditambah dengan program upgrade yang masih bisa dilakukan, disinyalir menjadi alasan bagi TNI untuk masih terus menggunakan senjata berusia lanjut ini.

Awalnya, meriam S-60 hadir dengan kelengkapan bidik dan siste kendali senjata yang konservatif, alias tanpa AKT (alat kendali tembak). Namun, seiring tuntutan dan perkembangan, mulai tahun 90-an, S-60 TNI AD sudah mulai ditingkatkan kehandalannya dengan dilakukan program retrofit.

Meriam S-60 57mm Retrofit
Bila pada S-60 tanpa AKT, semula segala sesuatunya digerakkan secara manual oleh awak meriam. Pada versi retrofit dilakukan modifikasi sehingga dapat digerakkan secara elektrik yaitu dengan cara Local Control yang menggunakan tenaga listrik dari dua buah baterai yang tersedia dan dengan cara Remote Control yang dikendalikan dari FCS (Firing Control Sistem).

Bila sebelumnya tanpa FCS, pembidikan sasaran menggunakan alat bidik yang ada pada Meriam, dimana posisi alat bidik adalah permanen (tidak bisa dirubah posisi azimut atau elevasinya), sehingga untuk pembidikan sasaran yang bergerak dari arah kanan ke kiri maupun dari kiri ke kanan, kemungkinan proyektil mengenai sasaran relatif kecil, karena tidak adanya sudut tangguh yang dibentuk antara garis lintasan proyektil dengan garis pembidikan. Sedangkan yang diharapkan untuk pembidikan sasaran udara atau pesawat, diperlukan adanya sudut tangguh dan jarak tangguh, dimana pada saat kita membidik sasaran, maka laras akan mengarah di depan lintasan sasaran atau pesawat.

Dari permasalahan yang terjadi perlu adanya alat bantu pembidikan Meriam 57 mm S-60 Retrofit untuk arah datangnya sasaran dari kanan ke kiri atau dari kiri ke kanan, sehingga alat bidik Meriam tersebut bisa diarahkan sesuai dengan arah datangnya sasaran.

Sebagai informasi, FCS (Firing Control Systrem) adalah suatu alat untuk mengendalikan penembakan pada waktu meriam kendali remote. Sedangkan Lokal kontrol adalah meriam dioperasikan oleh operator dengan menggunakan joystick. Dengan pola FCS, beberapa meriam dapat diarahkan selkaligus secara remote untuk secara terpusat menghajar target udara yang ditentukan. Dengan teknologi FCR (Fire Control Radar), satu baterai S-60, terdiri dari 6 pucuk dapat dioperasikan secara serentak dari satu pengendali.

S-60 TNI AD dalam pameran ABRI 1995

Simulator Meriam S-60
Dengan latar belakang anggaran yang terbatas, harus ada solusi untuk tetap melatih kesigapan awak meriam, agar suatu waktu siap diberdayakan. Menyiasati hal tersebut, Pusat Kesenjataan Arteleri Pertahanan Udara (PUSSENARHANUD) Kodiklat TNI AD menggiatkan inovasi dan kreativitas untuk melengkapi dan memodernisir persenjataannya. Pussenarhanud Kodiklat mampu menciptakan Simulator Meriam 57 MM/S-60.

Demo simulator turut disaksikan Presiden SBY

Simulator Meriam 57MM/S-60 merupakan wahana efektif dan efisien untuk melatih awak 3 (azimuth dan penembakan) dan awak 4 (elevasi) dalam mengoperasikan Meriam 57MM/S-60. Parameter pengoperasian yang dilakukan awak lainnya dimodelkan dengan perangkat lunak berbasis komputer.

Simulator ini dalam aplikasinya menggunakan meriam S-60 manual (tanpa AKT). Medan latihan, yang digunakan sesuai (mendekati) kondisi di lapangan. Variasi serangan (serangan udara datar, tukik, lempar jarak jauh, lempar vertikal, lempar lewat sasaran, heli tempur, dan lain-lain). Memodelkan perilaku tembakan berbasis sudut tangguh, berbantuan perangkat lunak berbasis komputer. Pentahapan dan penjenjangan tingkat kesulitan profil serangan dapat disesuaikan. Kemampuan teknis bisa dikembangkan (upgradable).

Simulator ini memiliki fitur wahana pelatihan efisien, efektif dan meminimumkan resiko. Produk hasil proses Lakgiat Litbang yang terkoordinasi. Perpaduan komponen/perangkat Comercial Off The Self (COTS) dan komponen produksi dalam negeri (local content) yang optimal.  Memanfaatkan basis teknologi yang dapat diperbaharui dan dikembangkan (upgradable)

Tua Tapi Battle Proven
Dengan rentang pengabdian yang panjang, meriam ini tentunya banyak digunakan oleh negara-negara lain, terutama yang punya hubugan manis dengan Rusia. Setidaknya ada 46 negara, termasuk Indonesia dan Rusia yang mengoperasikan meriam ini. Tanda jasa yang tersemat sudah cukup banyak, yakni dalam perang Enam Hari dan perang Yom Kippur di Timur Tengah, perang Vietnam, perang Afghanistan, perang Iran-Irak, dan perang Teluk. Untuk di Indonesia, belum ada laporan bahwa meriam ini pernah digunakan dalam operasi tempur yang sesungguhnya.

S-60 versi lisensi dari Cina – type 59 – sempat digunakan dalam perang Enam Hari oleh Mesir

Meski sudah buyut, tapi meriam ini nyatanya masih aktif digunakan oleh beberapa negara yang anggaran militernya berkocek ngepas, terutama negara-negara di Afrika dan Asia Selatan. Terbilang sebagai senjata blok Timur yang cukup laris, membuat beberapa negara sekutu Soviet tertarik untuk membuatnya secara lisensi, setidaknya ada tipe 59 yang dibuat oleh Cina, dan SZ-60 yang dibuat oleh Hungaria.

Bagaimana dengan profil daya gempur meriam towed ini? Menggunakan jenis meriam auto kanon kaliber 57mm, sudut elevasi laras adalah -4 hingga 87 derajat yang dapat berputar 360 derajat, dengan demikian meriam ini sejatinya juga pas untuk senjata pertahanan pantai. Sistem reload amunisinya menganut konsep manual dengan klip (magasin)/cartridge amunisi, dimana 1 klip berisi 4 peluru/amunisi. Waktu yang dibutuhkan untuk reload adalah 4 sampai 8 detik.

Untuk navigasi dan pembidikan target, bila dengan optical mechanical computing sight AZP-57, target dengan cara bidik lewat teleskop bisa dicapai hingga jarak 5.500 meter. Sedangkan dengan bantuan radar rangefinder D-49, kemampuan deteksi untuk menghajar target bisa lebih ditingkatkan. Dalam gelar tempurnya, sista ini pengoperasiannya bisa mendapat bantuan penuh dari elemen radar, seperi radar Giraffe.

Baca juga: Giraffe – Radar Intai Mobile Arhanud TNI AD

Jenis amunisi S-60 57mm
S-60 57mm dioperasikan oleh awak AD Irak

Demo Yon Arhanudse-6 saat HUT Kodam Jaya 2007

Jarak tembak efektif dengan dukungan pemandu radar mencapai 6.000 meter, dan 4.000 meter dengan pembidik optik. Kecepatan luncur dari proyektilnya mencapai 1.000 meter per detik. Secara teori, laras S-60 dapat memuntahkan proyektil antara 105 – 120 per menitnya, tapi dalam praktek awak hanya bisa mencapai kecepatan tembak 70 proyektil dalam satu menit. Untuk pilihan jenis amunisi, bisa memuat proyektil dengan peledak HE (high explosive)-T, AP-T, FRAG-T, dan APC-T. Untuk dua tipe proyektil terakhir, punya kemampuan self destruction (meledak sendiri) di udara pada ketinggian tertentu.

Secara umum, satu pucuk meriam diawaki oleh 7 personel, meriam towed (tarik) ini dirancang menggunakan 4 buah roda untuk menunjang mobilitasnya, secara teori meriam ini dapat ditarik truk hingga kecepatan 60Km per jam. Di Indonesia, truk penarik S-60 umunnya adalah truk Reo atau Unimog, pasalnya berat total sista ini juga tidak ringan, yakni 4,5 ton. Hingga kini, setidaknya ada 7 batalyon Arhanudse TNI AD yang masih mengandalkan S-60, 7 batalyon tersebut berada di bawah Komando Daerah Militer (Kodam), termasuk Kodam Jaya lewat Yon Arhanudse-6. Namun, seperti alustista arhanud lainnya, untuk gelar operasinya S-60 langsung berada di bawah Kohanudnas. (Haryo Adjie Nogo Seno)

Spesifikasi S-60 57mm
Negara asal         : Uni Soviet/Rusia
Kaliber            : 57x348mm
Berat            : 4,5 – 4,6 ton
Panjang        : 8,5 meter
Panjang laras        : 4,39 meter
Lebar            : 2,045 meter
Tinggi             : 2,37 meter
Awak             : 7
Kecepatan luncur proyektil : 1.000 meter per detik
Jangakauan max    : 6.000 meter

22 Comments