Ketika GlobalEye Memonitor Ruang Udara Indonesia

GlobalEye

Kecepatan respon pada tiap potensi ancaman udara menjadi poin penting dalam sistem pertahanan udara nasional. Semakin cepat lawan bisa diidentifikasi, maka semakin cepat pula ancaman yang datang bisa dinetralisir oleh hanud titik dan hanud terminal. Hal inilah yang menjadi dasar, betapa penting hadirnya pesawat berkemampuan AEW&C (Airborne Early Warning and Control) dalam struktur alutsista.

Baca juga: Momen Potensial Munculnya Black Flight di Indonesia

Masih maraknya black flight bisa menjadi contoh dari sekian banyak kasus yang bisa mengancam kedaulatan udara NKRI. Meski radar intai Kohanudnas di darat (ground radar) terus dipermodern dan jumlahnya secara bertahap ditambah, tapi dirasa masih belum optimal untuk melakukan deteksi lebih dini untuk mengamankan obvit (obyek vital). Umumnya kemampuan ground radar masih terbatas pada sisi jangkuan dan bidang area yang dipantau.

Menyadari pentingnya AEW&C, negara tetangga seperti Australia, Thailand, dan Singapura sudah familier menggunakan pesawat AEW&C. Sebut saja Australia punya E-7A Wedgetail (6 unit), Thailand punya Saab 340B Erieye (2 unit), dan Singapura yang menggunakan Gulfstream G550 CAEW (4 unit). Malahan kabar terbaru Vietnam telah resmi memesan dua unit C-295 AEW&C. Lantas bagaimana dengan Indonesia? Negara terluas di Asia Tenggara.

Baca juga: Saab Tawarkan Radar Erieye AEW&C Untuk Indonesia

globaleye-system-overview_2

Indonesia faktanya belum memiliki pesawat berkategori AEW&C. Boleh jadi dimasa lalu pemangku kebijakan pertahanan belum merasa perlu adanya AEW&C di Indonesia. Tapi justru kekuatan deteksi hanya fokus diproyeksikan untuk segmen intai maritim, artinya kemampuan sensor dan radar pesawat lebih detekankan untuk mengendus sesuatu yang ada di permukaan laut. Untuk segmen pesawat patmar, Indonesia adalah yang paling kaya ragam di Asia Tenggara, sebut saja ada Boeing 737-200 Surveillance, CN-235 220 MPA TNI AU, CN-235 220 NG MPA TNI AL, NC-212 200 MPA TNI AL, dan Nomad N22/N24 Searchmaster.

Baca juga: NC-212 200 MPA TNI AL: Memantau Perairan Dengan Teknologi FLIR

Baca juga: Ocean Master 400 – Radar Intai Canggih Untuk CN-235 220 NG MPA TNI AL

Untuk Indonesia, proyeksi kebutuhan pesawat AEW&C memang telah dicanangkan, yakni masuk ke program MEF (Minimum Essential Force) II periode 2015 – 2019. Dan sampai tulisan ini dibuat, belum ada jenis pesawat AEW&C yang resmi dipilih oleh Kemhan (Kementerian Pertahanan) RI. Namun, melihat peluang pasar yang potensial, sejumlah pabrikan telah memulai upaya promosi produk ke Indonesia. Salah satu yang sangat serius memasarkan AEW&C ke Indonesia adalah Saab. Manufaktur persenjataan asal Swedia ini sejak tahun 2015 telah menawarkan platform radar Erieye. Termasuk diantaranya opsi adaptasi radar AESA Erieye untuk dipasang pada CN-235.

Kemudian berlanjut ke pengenalan produk terbarunya, GlobalEye yang merupakan Erieye extended range, Saab kembali menawarkan solusinya ke Indonesia, setelah sebelumnya GlobalEye telah resmi dipesan dua unit oleh Uni Emirat Arab. Dan guna meyakinkan kemampuan GlobalEye, Indomiliter.com bersama dengan jurnalis nasional mendapat kesempatan untuk berbicang-bincang dengan Lars Tossman, Vice President and Head of Airborne Surveillance System, saat kunjungan kami ke Swedia pada 19 Mei 2016.

Baca juga: GlobalEye – Sistem Radar AEW&C Multimode dengan Extended Range dari Saab

Dalam sesi wawancara, yang menarik Tossman memberikan visual simulasi gelar GlobalEye di Indonesia. Seperti apa poin-poin menarik dari Boss radar Saab ini, berikut petikannya kami jabarkan dalam capture dibawah ini.

1

Meski bergenre airborne radar, sistem radar punuk GlobalEye dengan teknologi AESA (Active Electronically Scanned Array) juga dapat mendeteksi obyek di permukaan laut dan daratan. Dalam capture diatas, terlihat pola sebaran radar Erieye ER yang lebih jauh dan lebih lebar dibandingkan sebaran pancaran ground radar (warna hitam). Semakin jauh kemampuan deteksi, maka kemampuan early warning akan semakin baik.

Baca juga: Master –T – Radar Hanud Tercanggih Perisai Ruang Udara Indonesia

2

Lars Tossman mensimulasikan Lanud Halim Perdanakusuma (Jakarta) dan Lanud Hasanuddin (Makassar) sebagai home base GlobalEye. Dari visual lima GlobalEye yang terbang, dapat dilihat ruang coverage (jangkauan) dari radar ini. Dalam suatu misi operasi intai, GlobalEye yang menggunakan basis pesawat Bombardier Global 6000 hanya membutuhkan waktu 45 menit untuk transit time pengisian logistik dan bahan bakar. Sementara startup system radar hanya butuh waktu kurang dari 15 menit.

Dalam implementasinya sebagai pesawat intai GlobalEye, pesawat ini sanggup mengudara selama lebih dari 11 jam non stop. Pesawat ini juga sanggup lepas landas dan mendarat di bandara kecil, hanya dibutuhkan landas pacu kurang dari 2 km.

3

Khusus untuk misi intai maritim, GlobalEye dapat memantau area seluas 480.000 Km2 pada ketinggian 30.000 feet (9.144 meter). Dalam capture, nampak visual warna merah pada peta Google Maps yang mencitrakan jangkauan observasi radar dari pesawat MPA (Maritime Patrol Aircraft) turbo propeller yang Indonesia yang terbang pada ketinggian 2.000 feet (609 meter).

Untuk tugas meronda lautan, GlobalEye dilengkapi wide-area ground moving target indication (GMTI) radar modes. Dengan fitur GMTI, GlobalEye sanggup men-track laju kapal (boat) kecil yang melaju kencang, jetski, rudal jelajah, pesawat berkemampuan steatlh, dan periskop kapal selam yang muncul sedikit di permukaan saja dapat diketahui.

5

Capture diatas menggambarkan simulasi jangkauan ground radar. Akibat jangkauan yang terbatas, maka waktu untuk merespon datangnya ancaman sangat terbatas, yakni kurang dari lima menit. Hal ini tentu merepotkan pada kesiapan unit Satbak (Satuan Tembak) pada hanud titik yang terdiri dari rudal dan kanon PSU (Penangkis Serangan Udara).

Baca juga: Arhanud di Indonesia, Masih Berkutat di Zona SHORAD (Short Range Air Defence)

6

Selama belum ada pesawat AEW&C, untuk tugas-tugas eary warning memang bisa memanfaatkan jet-jet tempur yang melakukan Combat Air Patrol (CAP) di wilayah perbatasan. Namun opsi ini dirasa tidak efisien dari segi biaya operasional, karena harus menerbangkan beberapa jet tempur.

7

Untuk capture ini, tergambar sosok GlobalEye yang terbang meronda dengan aman di wilayah teritori, namun tetap dapat menjangkau kawasan kritis. Nampak detection line GlobalEye berada pada garis pantai negara lawan. Dari jarak lebih dari 400 Km, sistem GlobalEye sudah dapat mendeteksi dan melaporkan identitas dan pergerakan pesawat lawan. Waktu respon yang dimiliki untuk persiapan tempur bagi hanud titik dan hanud terminal (jet interceptor) bisa lebih dari 25 menit. (Haryo Adjie)

42 Comments