Dibalik Sengkarut Pengadaan Helikopter AW101 dan EC725 Super Cougar

Jakarta – Helikopter H225 Super Puma yang membawa penumpang 13 orang terjatuh di lepas pantai Norwegia, 29 April tahun 2016 lalu. Insiden tersebut terjadi di Laut Utara saat helikopter mengangkut pekerja minyak lepas pantai yang menggunakan heli Super Puma sebagai transportasi utama. Kecelakaan itu menyebabkan helikopter benar-benar hancur, saksi mata menyebutkan jika helikopter naas tersebut meledak ketika sampai di bawah.

Baca juga: Tanpa Basa Basi, Helikoper AW101 Utility TNI AU Telah Mengangkasa!

Kecelakaan ini menambah daftar panjang insiden maut untuk tipe H225 (versi sipil) dan AS332L2 (varian Super Puma yang kemudian dikembangkan menjadi H225) yang disebabkan oleh kegagalan teknis. Sepanjang kariernya mengangkut pekerja di Laut Utara, sudah 33 orang yang meninggal akibat Super Puma. Badan Keamanan Udara Eropa pun melarang segala jenis penerbangan komersial yang menggunakan varian Super Puma ini.

Di Indonesia sendiri terjadi perdebatan tentang rencana pembelian TNI AU yang memilih AW101 sebagai pengganti Super Puma yang akan habis masa pakainya 2018 mendatang. Alih-alih mempunyai alutsista yang baru dan canggih, sejumlah kalangan malah mencibir langkah KASAU menggunakan AW101 eks pesanan India.

Baca juga: Setelah Terkatung Lama, Akhirnya TNI AU Terima 2 Unit Helikopter SAR Tempur EC-725 Super Cougar

Menhan Ryamizard Ryacudu saat acara serah terima (25/11), berpose di door gun FN MAG 7,62 mm.

“Ada hal-hal yang bisa berpotensi menjadi resiko jika kita tetap memaksakan untuk menggunakan alutsista yang setelah dikaji banyak mengalami permasalahan seperti yang di alami oleh Super Puma Cougar EC275 (versi militer). Banyak data terbuka menjelaskan Cougar atau Superpuma bermasalah di mana-mana, karena gearbox problem.” ungkap pengamat militer DR Connie Rahakundini Bakrie.

Menurut Dr.Connie, sebagai alat pertahanan negara dalam tugasnya TNI AU membutuhkan dukungan alat pertahanan yang memadai. “TNI AU berkeinginan membangun kekuatan sistem pertahanan udara nasional (Sishanudnas) yang membutuhkan ketersediaan alutsista yang memadai guna mendukung kemampuan operasi udara kita.” ungkap Connie.

Baca juga: NAS 332 Super Puma TNI AL – “Melacak” Jejak Helikopter Pengusung Rudal Anti Kapal

Baca juga: NAS 332 L1/L2 Super Puma – Helikopter “Air Force One” Republik Indonesia

“Industri pertahanan kita bisa maju dan berkembang dengan catatan sistem pengadaannya bukan asal bapak senang.” tegas Connie. Ia pun mengungkapkan jika ‎industri pertahanan Indonesia terhambat bukan karena tidak mampu secara teknologi. “Tetapi karena kita sendiri yang membuat prosesnya terhambat akibat like and dislikes proses dalam penentuan siapa yang boleh masuk dan mengembangkan industri pertahanan di dalam pengadaan Alutsista,” ungkapnya. (Ryan Muhammad – Pengamat Militer )

47 Comments