Bila Perang Itu Akhirnya Tiba

indonesia-vs-malaysia

Hari itu Jumat, 8 April 2005 jadi hari yang bersejarah bagi pola pandang pertahanan laut nasional. Pasalnya ini pertama kali Indonesia mengalami konflik perbatasan yang berujung pada insiden saling serempet antara kapal perang TNI AL dan AL Malaysia – TLDM (Tentara Laut Diraja Malaysia). KRI Tedong Naga 819, kapal patroli berbahan fiber glass buatan Dalam Negeri, terpaksa menyerempet KD Rencong sebanyak tiga kali di perairan Karang Unarang, Nunukan – Kalimantan Timur. Aksi KRI Tedong Naga bukan tanpa alasan, sebab KD Rencong sebelumnya berkali-kali melakukan manuver yang membahayakan pembangunan mercusuar di Karang Unarang.

Konflik batas wilayah dalam kasus blok Ambalat itu pun berlanjut dalam beberapa eskalasi, tercatat di bulan Februari 2007 terjadi dua kali aksi lintas batas secara sengaja oleh kapal perang Malaysia ke wilayah perairan RI. Pihak TNI AL sejak awal konflik Ambalat pun sudah mensiap siagakan Gugus Tempur Laut (Guspurla), satuan kapal perang yang terdiri dari KCR, korvet dan frigat yang selalu merespon cepat pada ‘provokasi’ TLDM. Dan patut diacungi jempol para prajurit TNI AL yang dalam suasana hati panas tapi tetap patuh pada SK Panglima TNI Nomor: Skep/158/IV/2005 tanggal 21 April 2005 yang menyatakan bahwa pada masa damai, unsur TNI AL di wilayah perbatasan RI-Malaysia harus bersikap kedepankan perdamaian dan TNI AL hanya diperbolehkan melepaskan tembakan bilamana setelah diawali adanya tembakan dari pihak Malaysia terlebih dahulu.

Meski saat ini konflik berhasil diredam, dan kedua pihak bersepakat untuk menjalankan patroli  bersama, tapi bibit munculnya konflik terbuka masih terlihat nyata di masa mendatang. Malaysia tetap bersikukuh atas wilayah yang diakui sebagai teritori Indonesia di Ambalat, dan pastinya lagi Malaysia tetap mensiagakan armada kapal perangnya disana. Ibarat api dalam sekam, selain gelar kehadiran unsur militer baik pesawat tempur dan kapal perang antar kedua negara, pengadaan alat tempur jenis baru antar kedua negara serumpun ini kerap menjadi sentimen tersendiri.

Karena sejatinya antara Indonesia dan Malaysia punya hubungan dagang dan industri yang saling membutuhkan, konflik terbuka pun diperkirakan kecil terjadi, masing-masing rasanya telah memperhitungkan ‘dampak besar’ bila akhirnya meletus konflik senjata terbuka. Tapi apakah solusi perundingan menuju solusi damai selalu mujarab? Kita seyogyanya harus belajar dari lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia pada tahun 2002. Meski setiap konflik mempunyai multi aspek masalah, tapi pada hakekatnya kewajiban pemerintah untuk mempertahankan tiap jengkal wilayah NKRI. Mengutip kalimat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peresmian Monumen Trikora dan Dwikora di Mabes TNI Cilangkap (26/2/2009), “Kalau kita ingin damai, maka kita harus siap berperang.”

Satu pandangan dengan pemikiran presiden SBY, penulis juga tidak berharap meletus peperangan antara Indonesia dengan negara tetangga, tapi memang untuk mewujudkan perdamaian kita harus menyiapkan skema bila terjadi peperangan, dan inilah yang menjadi kewajiban TNI untuk senantiasa menyiapkan alutsista yang memadai untuk tugas-tugas peperangan. Ambil contoh dari sengketa di blok Ambalat, bila dalam simulasi peperangan, maka elemen kekuatan udara dan laut dipastikan bakal menjadi penentu keberhasilan operasi. Dan dalam konteks peperangan di laut, keberadaan artileri kapal perang dipastikan akan bermain secara taktis dan strategis. (Dikutip dari Buku “The King of Artillery – TNI Angkatan Laut)

81 Comments